Orang-orang tua memanggilnya ’Koneng‘ saja, sedangkan yang lebih muda menegurnya engan ’Oom‘ atau ‚Broer Koneng‘. Dan kami anak-anak biasa menyebutnya ‚Tete‘ atau ‚Opa Koneng‘ ataupun ‚Opo Koneng‘. Seorang tua yang berwibawa, cerdas, rendah hati dan dapat bergaul dengan siapapun saja.
Meskipun ia telah berusia sekitar tujuh puluh tahunan, tetapi dengan perawakannya yang tinggi semampai, berotot, tidak gemuk tetapi bukan pula kerempeng, dengan gerak geriknya yang gagah, roman muka yang tampan, mata yang menyorot tajam, dilengkapi dengan kumis yang dipilin meruncing keatas, salah-salah ia dikira oleh orang-orang muda, sebagai bapak pendiunan marsose atau perwira KNIL bagian Komando, yang biasa disebut, pasukan Baret Merah pimpinan Westerling.
Konon karena hari kelahiran Tete Koneng, bertepatan dengan ulang tahun Ratu Belanda Wilhelmina, maka ia lalu seakan-akan memperoleh hak untuk selain nama keluarga Tawaluyan dan nama kecil lainnya, dapat pula ditambahkan sebutan ‚Koneng‘, yang berarti raja. Karenanya ia lalu lebih dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Koneng Tawaluyan.
Tete Koneng, bukan hanya dikenal dan disegani di kampung kami, tetapi dapat dikatakan sebagian besar penduduk di kota kami mengenalnya dengan baik karena luas pergaulannya. Tetapi terutama juga karena keunikannya.
Tete Koneng bukanlah manusia yang biasa-biasa saja. Tentunya dalam artian yang baik. Jelasnya ia bukan orang tua sembarangan. Sebagai manusia, tingkah laku dan cara-caranya, disana-sini wajar-wajar saja dan kalau ada hal-hal yang kurang dapat diterima oleh sementara orang, terutama tentu karena soal kekerannya, ketegasannya, dengan suaranya yang sewaktu-waktu menggeledak disertai dengan mata yang melotot, kalau sedang terlibat dalam suatu perdebatan yang serius. Tetapi Tete Koneng tetaplah terpandang sebagai seorang bijaksana dan menonjol dalam berbagai bidang yang bermanfaat untuk masyarakat.
Tete Koneng ini, banyak membaca buku. Terutama buku-buku yang menulis dan menerangkan tentang segala sesuatu yang menyangkut soal hidup dan kehidupan masyarakat. Sebab itu ia banyak pengetahuan dan iapun banyak menyimpan tulisan-tulisan tentang kisah-kisah tempo dulu, terutama yang berkaitan dengan cerita kesukaannya yaitu perang perlawanan rakyat Minahasa terhadap Belanda, yang lazim dikenal dengan ‘Perang tondano’. Karena kebetulan pula, orang tua ini adalah salah satu dari buyut-buyut dotu Tawaluyan salah seorang dari mereka-mereka yang paling mencuat dari warisan waranei-waranei para pahlawan Tondano. Karena adanya catatan-catatan tentang kepribadian yang baik dari Tete Koneng inilah, yang mengharuskan ia layaj mendapat penilaian yang menonjol, seperti yang telah diuraikan di atas.
Di rumah Tete Koneng terpampang hambar-gambar dari orang-orang atau tokoh-tokoh yang dinilainya penting dan hebat, dari mana-mana saja. Baik mereka yang berasal dari dalam negeri, maupun yang dari luar Indonesia seperti, Doekarno, Hatta, Ratulangi, Thamrin, Tan Malaka, Syahrir, Hasanudin, Cut Nya’Dien, Walanda Maramis, Kartini, Sisinga Mangaraja, Pattimura, Lincoln, Lenin, Napolen, Gandi dan lain-lain yang kesemuanya itu diberinya berbingkai. Ia akan senang sekali, bila ada yang berminat secara sungguh-sungguh untuk megetahui siapa-siapa saja gambar-gambar itu. Maka satu kuliah singkat akan segera diberikannya.
Pada suatu hari pernah terjadi suatu peristiwa di kantor hokum kedua, dimana emosi Tete Koneng kembali tidak dapat dikendalikannya lagi dalam hubungan dengan kelalaian sang hukum kedua pada tugasnya.
“Hukum-kedua apa kau…! Seorang penguasa atau pengemban tugas untuk kepentingan rakyat bukanlah pertama-tama dan terutama memamerkan kekuasaannya, melainkan yang paling diutamakan yaitu membuktikan kemampuan dalam melaksanakan tugas. Cakap,jujur, berani bertanggung jawab dan tidak hanya untuk menyenangkan atau semata-mata hanya menjadi budak atasan saja, laliu menyusahkan rakyat kecil seperti kami…….Hukum-kedua apa ngana, hokum-kedua gardus…….setang ngana!”.
“Sudahlah Oom Koneng”, demikian petugas kantor hukum-kedua cepat-cepat ingin menentramkan orang tua galak itu dalam suatu peristiwa, tatkala Tete Koneng dating ke kantor hukum-kedua dalam hubungan dengan masalah pelebaran jalan didepan rumahnya.
“Ah, tidak ……, itu hokum-kedua alat mati saja dia. Hanya sebagai boneka dalam tugasnya, dan dia sekalipun seorang Kristen, pastilah ia seorang yang munafik, buruk hati dan bodoh pula. Orang bagitu nyanda waar jadi ukung-kedua. Dan saya dapat pastikan juga, bahwa dia, namun seorang yang percaya dan taat pada injil, mungkin belumpernah atau memang ia tidak mau membaca dan mempelajari hikayat raja Solaiman.
Coba dia baca butul-butul bagaimana raja Solaiman pe hikayat…..berani, jujur, cerdas dan kalau memutuskan suatu perkara dia tidak memihak, artinya ia netral. Bukang rupa itu ukung-kadua biongo itu”.
“Ee….om Koneng basabarjo….ee, Om Koneng…, turaja Solaiman lei barangkali ada saribu dia pe’bini, oom Koneng”. Demikian seorang petugas yang mengenal betul pribadi orang tua itu setengah bergurau berbisik pada Tete Koneng.
„Eee, apa ngana bilang?“
“itu oom, tu raja Solaiman...daang? satu kawang dia pe bini….!
“Ah, Godverdomme...onbeschoft...caparuni ngana ...kita nyanda bicara itu...“.
Demikian keduanya sejenak tertawa terkekeh-kekeh seraya menuruni tangga kantor hukum-kedua, dimana Tete Koneng tidak lupa menyemprotkan teriakannya keras-keras karena kekesanlannya terhadap hukum-kedua.
Kalau dalam uraian diatas dikatakan bahwa Tete Koneng adalah manusia yang penuh dengan pertentangan dalam penilaian kita, itu adalah benar. Karena meskipun ia dikenal sebagai orang tua yang rendah hati dan sopan, dapat bergaul dengan siapa pun saja, tetapi janganlah diartikan bahwa dia mudah saja mendiamkan apalagi dengan membenarkan pikiran-pikiran yang menyeleweng atau gagasa-gagasan bodoh tidak berbobot. Terlebih lagi kalau segala pikiran dan pendapat yang ngawur tidak benar itu, sudah berwujud tindakan yang menyusahkan dan membohongi, menipu rakyat. Maka pada lesempatan yang beginilah, kita akan menyaksikan dan meyakini, bahwa benarlah kalau Tete Koneng ini, bagi yang mengenalnya, ia dianggap sebagai sebongkah batu gunung yang tidak mudah diremukan.
Bagi Tete Koneng, dengan tidak memperdulikan apakah sesuatu permasalahan itu langsung menyangkut dirinya atau tidak, asal saja itu dianggapnya merugikan masyarakat, akan dilawannya betapapun akibatnya.
Dan tidak jarang memang Tete Koneng mengalami kesulitan karena cara dan tindak tanduknya itu. „Semua permasalahan dalam masyarakat, harus menjadi persoalan tiap orang. Kecuali kanak-kanak yang belum dapat mengemukakan pikirannya, orang-orang tua yang sudah pikun, atau mereka yang kurang waras“. Demikian pendapat Tete Koneng yang selalu dikemukakkannya pada setiap kesempatan bertukar pikiran didalam pergaulan atau perhimpunan dimana pun saja. Baik tentang soal-soal yang menyangkut agama, kegiatan sosial masyarakat, ataupun mengenai pemerintahan. Dan tentu saja Tete Koneng adalah jagoannya dalam bersoal jawab mengulas permasalahan, apalagi berpidato membakar semangat rakyat. Lawan-lawannya atau yang kurang setuju dengan perilaku Tete Koneng akan keok hilang nyali dibuatnya, tetapi yang mengenal benar perilaku Tete Koneng merasa asyik mendengarkannya.
„Orang yang suka memencilkan diri, tidak mau ikut berpikir berbicara dan berbuat sesuatu bersama masyarakat sekitarnya orang yang hanya tahu dirinya sendiri saja, atau keluarganya ataupun golongannya, mereka itulah yang biasanya menjadi biang keladi segala ketimpangan, ketidakadilan, dan kekacauan masyarakat. Orang-orang demikian tidak pernah tenang, dan selalu gelisah memikirkan segala keinginannya yang belum terpenuhi. Dengan tidak memperdulikan apakah nafsu serakahnya itu akan merugikan dan menyusahkan masyarakat banyak. Pada waktu malam mereka juga tidak dapat tidur nyenyak karena pada siang harinya mereka tidak atau belum memperoleh sesuatu keuntungan atau hasil dari orang-orang lain di sekitarnya, tidak perduli dengan akal dan tipu daya apapun saja. Mereka inilah manusia-manusia anak-anak Iblis yang akan menggiring kita ke neraka. Neraka dunia yang berujud kekacauan masyarakat dan terutama neraka di akhirat sana, apabila kita tidak mampu membuka kedok dan menelanjangi mereka“. Demikian ujarnya.
Salah satu pegangan Tete Koneng yang amat kokoh, apabila menghadapi semua permasalahan, baik itu soal yang paling sepele samapai pada yang dapat berakhir di penjara, katanya: „Bagi manusia yang benar-benar ingin dan berani memperbaiki kepincangan dalam masyarakat, ialah pertama-tama mempelajari keadaan masyarakat itu, termasuk dan bahkan terutama dirinya sendiri, lalu mengambil tindakan. Dan apabila kita sudah mengayunkan langkah, maka patokan kita hanyalah dua: memberikan segala sesuatu yang kita miliki termasuk jiwa raga kita kepada masyarakat itu atau tidak memberikan sama sekali apapun kepada masyarakat itu, sebab katanya, „ mungkin saja pendapat atau kesimpulan masyarakat itu tidak benar dan akan mengakibatkan kesulitan bagi masyarakat itu.“
„E, maaf oom Koneng“, demikian seorang anak muda yang agaknya ingin mengajukan sesuatu pertanyaan pada Tete Koneng dalam suatu pertemuan, „Tetapi mengapa pada setiap persoalan, apakah itu soal kebudayaan, persoalan ekonomi, pokoknya membicarakan masalah apa saja, om Koneng selalu saja suka menghubungkannya dengan agama...?!
„Bagaimana....?“ Tete Koneng balik bertanya. „saudara dari golongan mana? Maksud saya agama saudara....?“
„Saya GMIM oom“
„Saudara bodoh barangkali. Pernahkah kau mendengar sekali saja, saya berbuat demikian? Berbicara tentang pemilihan hukum-tua pinontol sawang, atau masalah koperasi lalu menghubung-hubungkan dengan agama? Bahkan dengan persoalan uang dana untuk pembangunan gereja yang sudah tidak diketahui kemana perginya, saya tidak pernah sangkut-pautkan dengan agama. Yang saya selalu dan akan selamanya kaitkan dengan semua permasalahan kita manusia ialah Firman Tuhan dan bukan agama. Karena kita manusia ini, saudara dengan saya, bahkan segala isi dunia ini, berada karena Firman Tuhan. Kita bukan dijadikan atau dilahirkan oleh agama. Dan saudara harus tahu, betapa bedanya agama dan Firman Tuhan. Saudara mengerti itu? Agama itu dapat kita umpamakan sebagai jalan atau jalur untuk menuju kepada pelaksanaan Firman Tuhan. Adapun agama itu dapat saja saudara dustai bahkan saudara perdagangkan, tetapi Firman Tuhan itu tidak dapat diputar-balikkan. Bahkan bukan munafik. Sebagaimana agama itu dapat tumbuh karena kerja manusia, agama itu pula dapat hancur karena perbuatan manusia juga. Firman Tuhan tidak dapat berubah dahulu sekarang dan sampai selama-lamanya, tetapi agama seperti yang saudara saksikan sendiri....sekarang ini, sudah berapa ratus kalau belum beribu golongan agama di dunia ini. Ini yang di kalangan pengikut Kristus saja, yang kesemuanya membawa-bawa nama Tuhan dan para nabi. Dan makin meningkat jumlah golongan-golongan itu, kian bertambah pula keahlian mereka untuk saling melecehkan, saling mengolok dan menjelek-jelekkan, menghina dan memfitnah. Memanglah sudah seharusnya abgi setiap orang untuk percaya dan yakin seyakin-yakinnya tentang kebenaran agama yang dipeluknya, sebab bagaimana kalau orang tidak bulat keyakinannya terhadap agama yang dipeluknya, orang beragama bagaimana itu....? Tetapi akan lebih besar lagi kesalahan kita, dosa kita, kalau kita berani dan merasa berhak menuduh dalam pikiran terutama dalam hati kita, yang bahwasanya agama si A, dan si B itu salah, tidak sesuai dengan Firman Tuhan. Karena menurut pendapat saya, saudara, bahkan pada seorang pencuri, seorang pembunuh atau seorang sundal yang sedang berada di hadapan kita, kita tidak berhak, karena kita tidak ada kekuasaan sedikitpun untuk dengan membawa-bawa nama Tuhan menghukumnya sebagai seorang yang bersalah apalagi orang berdosa. Hanya Tuhanlah yang maha mengetahui salah benarnya seseorang. Hanya dia sajalah yang dapat menimbang besar kecilnya dosa-dosa kita manusia. Dan saya kira saudara, kesetiaan, ketaatan dan kepercayaan kita terhadap agama yang kita peluk itu, janganlah itu secara mutlak dapat kita samakan dengan keimanan kita kepada Tuhan....kira-kira bagaimana saudara....?“ Demikian Tete Koneng melayani seorang anak muda yang pada suatu pertemuan di pesta Permandian, agaknya ia ingin mencoba-coba Tete Koneng, „Dan saudara tahu......“ demikian Tete Koneng melanjutkan, „Kalau saja saya boleh menambahkan apa sebab saya selalu menghubung-hubungkan persoalan masyarakat dengan Injil, dengan Firman Tuhan, karena kenyataan membuktikan kian banyak saja manusia-manusia yang pandai, yang memanfaatkan bidang penginjilan sebagai lapangan pencarian untuk kepentingan duniawi dan telah lari atau menjauhi segala yang dimaksud oleh Injil atau Firman Tuhan itu sendiri.
Bahkan kian bertambah saja orang-orang yang suka memperalat atau menggunakan agama sebagai topeng untuk mencari bahkan mencuri kedudukan dan kesenangan hidup, yang dengan licik dan tidak ada rasa malu apalagi takut, menonjol-nonjolkan diri sebagai seorang yang taat beragama, setia dan patuh pada perintah Tuhan dan tentu saja mereka mahir pula dalam menghafal ayat-ayat kitab suci. Lalu sebagai akibat dari kekurang-pengertian kita tentang bedanya agama dan Firman Tuhan seperti yang telah saya jelaskan tadi, dan ketidak-mampuan kita untuk mengenal rupa dan tindak-tanduk manusia-manusia yang pada hakekatnya adalah tidak lain dari serigala berbulu domba yang berkeliaran di masyarakat itu, timbullah segala salah pengertian kericuhan dan kekacauan pada masyarakat. Baik itu hanya berupa pertengkaran antar golongan atau kelompok dalam suatu negeri, sampai pada berkobarnya perang-perang yang melanda dunia ini.....Entah sudah berapa menjadi korban. Dikorbankan oleh mereka yang dengan semangat untuk saling membunuh, dengan semboyan demi keadilan dan kemanusiaan, yang dengan tangan satu memegang kitab suci dan tangan lainnya memegang bedil. Lalu bagaimana pula peranan sementara rohaniawan, ulama dan pemuka-pemuka agama selanjutnya? Mereka begitu dingin dan tenang tak ubahnya seperti batu nisan yang berada disampingnya, mereka berdiri berkhotbah dan menyembayangi para korban perang iblis itu. Apakah itu bertentangan dengan Firman Tuhan? Ataukah karena memang dibenarkan oleh hukum agama? Siapakah atau pihak manakah dari mereka yang saling membunuh itu yang benar-benar menghayati dan melaksanakan Firman Tuhan? Harus kiranya kita sadari bahwa pada dasarnya, orang-orang yang kesana-kemari berteriak-teriak atas nama kebenaran dan Tuhan, sambil mengayun-ayunkan pedang dan semboyan lebih banyak musuh yang mati lebih baik, dengan tidak memperdulikan jiwa manusia, anak istri dan keluarga para korban itu, adalah tidak lain karena mereka tengah melaksanakan apa yang diinginkan dan diperintahkan oleh orang-orang mabuk kekuasaan, serakah, segelintir manusia yang sedang dirasuk kegilaan akan kesenangan dunia kesombongan dan bernaluri hewan.“
Komentar