Langsung ke konten utama

[Giroth Wuntu] Tete Koneng Sebagai Anggota Masyarakat

         Pada suatu hari di kampung kami diedarkan undangan bagi seluruh anggota jemaat, untuk menghadiri pertemuan dengan maksud akan membicarakan permasalahan yang menyangkut pemilihan anggota-anggota pimpinan jemaat, bertempat di gedung sekolah Zending. Beberapa anggota telah hadir lalu menggunakan kesempatan itu untuk berbincang-bincang, terutama tentang segala sesuatu yang langsung berhubungan dengan masalah pokok, yakni kehidupan keagamaan atau penginjilan di kampung kami.
        Tiada berapa lama tiba pula beberapa anggota, termasuk Tete Koneng. Dan karena tuan penulong sendiri belum hadir, maka kehadiran orang tua yang penuh pertentangan ini, telah menambah ramai pula perbincangan itu.
        Tetapi meskipun Tete Koneng dikenal sebagai seorang yang gemar banyak bicara, tetapi janganlah diartikan bahwa dia memang seorang pembicara asal bicara saja dan tidak tahu ujung pangkal cerita atau persoalan yang diketengahkan, Orang tuan ini adalah seorang yang dalams segala hal selalu berlaku cermat dan hati-hati, tidak ingin menggurui ataupun memaksakan pendapatnya, meskipun karena itu sudah merupakan pembawaannya, ia selalu keras, tegas, dan terbuka. Dan ia tidak melupakan untuk selalu memberikan dorongan dan semangat pada siapapun saja yang hadir dalam setiap ada pertemuan, untuk supaya semua mengambil bahagian dalam perbincangan itu. Sangatlah disesalkannya, apabila ada orang-orang yang boleh jadi karena kurang penguasaan dalam bahasa atau kurang pengalaman dalam pergaulan, lalu enggan mengemukakan gagasan atau pendapatnya meskipun ia mengerti permasalahan yang sedang dibicarakan.
        „Nah....inilah penyakit yang sudah tertanam sejak dahulu di jaman Belanda. Di jaman penjajahan itu, seseorang yang meskipun hanya menguasai ‚waar ga je’, ‚goeden morgen’ lalu dipandang sebagai seorang terpelajar dan karenanya dia sajalah yang harus diberi kesempatan untuk boleh bicara banyak, meskipun mungkin saja ia sendiri sama sekali atau hanya sedikit menguasai apa yang harus dibicarakan. Dan orang-orang yang tidak mengerti bahasa asing itu, dianggap saja bodoh tidak atau kurang terpakai dalam pergaulan, apalagi turut dalam perbincangan mempertukar-pikirkan suatu soal atau masalah“. Demikianlah Tete Koneng dan dimana saja, apabila ia menemui orang-orang yang suka mengikat dan menghukum dirinya dan semua kegiatan hidupnya dengan rasa rendah diri, lalu mengira saja buah pikiran orang lain, atau menerima saja apa yang akan diperbuat dan dilakukan orang lain terhadap dirinya, meskipun itu serba salah dan tidak manusiawi.
           Oleh karena pertemuan itu semata-mata untuk membicarakan masalah yang khas, yang khusus, yaitu tugas menginjilan, maka dengan sendirinya para pembicara banyak yang menekankan pada kemampuan orang-orang yang akan menjadi pelopor dalam lapangan penginjilan itu.
„Saudara-saudara.....“ demikian seorang pembicara.
             „Saya kira dengan memperhatikan perkembangan-perkembangan yang baru sekarang, dalam hubungan dengan tugas-tugas gerejani, yang banyak menuntut tenaga dalam pelaksanaannay, baiknya dalam menentukan pemuka-pemuka jemaat kali ini, kita memilih yang muda-muda, karena mereka masih berotot kuat. Maklumlah karena akan ada banyak kegiatan yang diarahkan ke seluruh bagian kampung, termasuk juga mengunjungi kebun-kebun ladang yang agak jauh dari kampung, karena banyak keluarga yang tinggal di kebun berhubung sekarang musim panen padi ladang. Atau paling kurang setengah dari yang terpilih itu tenaga yang muda-muda. Karena saudara-saudara, sebagaimana yang kita saksikan sekarang, sudah banyak perubahan dalam tugas-tugas kita, sehingga kita yang tua-tua ini, sudah tidak mampu lagi menyesuaikan diri. Sudah tidak sanggup lagi melaksanakan tugas yang agaknya sudah harus seba cepat dan beraneka ragam pula. Bukankah begitu saudara-saudara? Kalau boleh saya katakan, bahwa benarlah kalau segala kegiatan dan usaha dalam penginjilan, atau semua yang berhubungan dengan Firman Tuhan sudah harus mengejar dan atau menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman. Kalau Riedel sudah harus menyesuaikan diri dalam pergaulan dengan orang-orang alifuru yang setengah biadab, mememuis dan lain-lain, maka kita sekarang sudah harus berhadapan dengan orang-orang yang sudah bersekolah yang biasa dikatakan orang-orang terpelajar, dimana diantara mereka tidak sedikit yang berperilaku lebih buruk dari orang-orang biadab. Mereka menipu, membodohi dan menyusahkan rakyat saja.....kira-kira bagaimana pendapat saya saudara-saudara? Ataukah memang saudara harus demikian.....sudahkah ada pembaruan dalam dunia penginjilan? Artinya kita harus mengikuti dari belakang kemajuan ilmu pengetahuan.....?“
        „Oh.....saya kira tidak demikian. Tidak ada perubahan dalam penginjilan“. Demikian Tete Koneng menanggapi. „Saudara-saudara......kalau kita berbicara tentang penyebaran Firman Tuhan, untuk tugas-tugas gereja atau penginjilan, tidak ada yang baru. Tugas bagi orang-orang yang percaya pada Injil, beriman kepada Tuhan, sama saja seperti dahulu. Karena Firman Tuhan tidak berubah dahulu, sekarang dan sampai selama-lamanya, demikian juga dalam penugasannya. Yang merupakan masalah yaitu mengembangkan ketrampilan, kegiatan, kesungguh-sungguhan dan tentu saja juga meningkatkan kemampuan berpikir mengikuti kemajuan ilmu pengetahuan. Karena kalau kita perhatikan benar-benar, sekarang ini sedang terjadi perlombaan berpikir semacam adu kemampuan otak di segala bidang kehidupan manusia. Dan kalau kita simpulkan semua ini, perkembangan kemajuan berpikir yang menurut kenyataan banyak yang hanya mengarah atau yang ditujukan kepada kepentingan golongan dan perorangan ini, artinya sekarang ini benih-benih permusuhan dan benci-membenci sedang di semai dan yang pada akhirnya akan bermuara kepada kehancuran segala yang telah diciptakan oleh manusia itu sendiri selama keberadaan manusia itu. Karena seperti yang tadi saudara katakan“, seraya Tete Koneng, menunjuk pada salah seorang pembicara, „Kalau dulu pendeta Riedel menghadapi mememuis yang dengan pedang terhunus, maka kita sekarang sedang melawan perkembangan-perkembangan ilmu tipu-menipu. Tuhan saja yang maha tahu......barangkali kita sekarang sedang melangkah mendekati neraka......“ demikian Tete Koneng seraya tidak melupakan pembenarannya tentang pendapat-pendapat pembicara lainnya, termasuk yang bahwa benarlah kalau dalam penugasan-penugasan sebentar supaya dipilih tenaga-tenaga yang muda-muda.
          „Saudara-saudara“, demikian pembicara lainnya, Tugas kita nantinya, apabila diantara kita ini ada yang terpilih, tentulah terutama sekali yaitu tentang masalah pengumpulan dana. Untuk biaya-biaya perampungan gereja kita, dan juga bantuan pada mereka yang sangat memerlukannya, yang kesemuanya ini, tidak dapat dipisahkan dari tugas kita dalam mengelola ladang Tuhan demi penyebaran Injil. Saudara-saudara sesuatu yang perlu kita perhatikan bersama-sama, yaitu tentang kesadaran kita mengenai arti dari pada pengerja atau petugas di ladang Tuhan itu. Sebab menurut pengalaman kita semua, agaknya masih ada diantara kita, yang belum tahu barangkali, atau memang tidak mau tahu tentang arti daripada tugas-tugas itu, yaitu pengerja di ladang Tuhan, jadi bukan pemilik ladang itu. Apa sebab saya bicara begini saudara-saudara? Memang kedengarannya lucu, tetapi karena banyak bukti dan kita dapat menyaksikan sendiri bahwa ada sementara teman kita juga yang sering melanggar batas. Ada hasil-hasil ladang, seperti pisang masak atau hasil-hasil kebun lainnya, yang bukannya dia kumpulkan lalu dibawa ke lumbung Tuhan, tetapi dibawanya pulang ke rumah....ha....ha.....ha. Dan ada pula yang memanfaatkan kedudukannya sebagai seorang rohaniawan yang ada kedudukan di ladang Tuhan itu, untuk menyombongkan dirinya, orang-orang ini tidak mengerti, bahwa kedudukannya di ladang Tuhan itu, bukan soal duniawi untuk mencari kesempatan mencari kesenangan apalagi kemewahan, harta dan kehormatan. Bagaimana kita dapat menghasilkan panen atau hasil ladang Tuhan yang baik, kalau memilih orang yang demikian.....?
          „Ya, benar sekali keterangan atau uraianmu itu saudara“, demikian Tete Koneng langsung menyambutnya. „Memang pengalaman membuktikan, ada si pengerja atau penjaga kebun Tuhan, suka mencuri di kebun itu. Kalau dalam undang-undang itu dapat saja disebut ‚penggelapan’ atau ‚verduistering’ dalam bahasa Belanda. Saya agak malu menyebutnya pencuri sebetulnya, karena kata itu terlalu kasar atau keji kalau ditujukan pada seorang rohaniawan bukan? .....ha....ha....ha...“
Sebentar saja pertemuan itu telah ramai dengan gelak tawa, sementara ada diantara mereka yang berpandang-pandangan, karena agaknya mereka telah dapat menerka, bahwa Tete Koneng sedang mengarahkan uraiannya itu terhadap seorang dua diantara mereka itu, yang pernah berbuat sesuatu yang tidak terpuji terhadap dana-dana yang dikumpulkan anggota-anggota jemaat, untuk perbaikan gereja dan bantuan-bantuan kemanusiaan. Berhubung pula karena pada saat itu masyarakat sedang mencurigai seorang pendeta yang diperkirakan kurang teliti dalam usaha pengumpulan dana untuk perbaikan gedung gereja yang telah rusak pada waktu perang Belanda dengan Jepang. Malahan ada sebagian anggota masyarakat yang terang-terangan menuduh bahwa benarlah kalau pendeta itu telah menggunakan dana itu untuk kepentingan dirinya sendiri.
            „Tapi maaf om Koneng, takira oom, butul jo tu Mark Twain pe pendapat kalu begitu.
            „Kiapa Karl Marx bilang apa? Dia tulis dibuku mana?
            „Ooooo......bukang Karl Marx, Oom, Kita neanda kenal tu Karl Marx.
           Yang kita pe maksud itu Mark Twain, tu penulis kenamaan bangsa Amerika, yang dia pe nama             asli kalu kita neanda salah, Samuel. L. Clemens, mar bukang tu Karl Marx.
          „Kiapa.....apa dia pe pendapat so?“
        „Dia bilang Oom.....umumnya manusia-manusia ini, ada yang memuja kedudukan, ada yang memuja pahlawan, ada yang memuja kekuasaan, dan ada yang memuja Allah. Namun mereka semua memuja uang. Bagaimana itu Oom?“
        „Bagitu, ee?“ Kalu dia pe pendapat bagitu, kita lei ada pendapat.......dan memang tiap-tiap manusia harus bebas melahirkan pendapatnya, tetapi jangan kita menyamakan seseorang yang sedang berlari-lari kesana kemari mencari pinjaman uang, berhutang untuk membeli obat dan beras satu liter, dengan mereka orang-orang rakus penimbun kekayaan yang siang malam berbuat kejahatan, berupa menipu bahkan membunuh, sambil sekalian berdoa supaya kekayaannya kian bertumpuk. Itu no, ta pe pendapat!“
           „Mar bukang kwa Marx, oom......Mark Twain ta bilang.......No, sapa kote tu Karl Marx yang oom ada cumu itu?“
         „Oooooo......so dia orang komunis pe dotu, dorang pe opo. So dia itu Belanda paling binci. Karena dia kong banya skali torang pe bangsa, ada beberapa ribu stou yang dapa hukum buang ka Digul di Papua sana yang sekarang so ganti nama Irian. Ada yang Belanda gantong sampe mati kwa, kita sandiri kurang sadiki so ta’iko kasana. Ada beberapa orang kawanua yang kita kenal, yang dibuang ke Digul itu. Malahan ada seorang kawanua namanya Nayoan telah hilang dan meninggal disana. Berita terakhir, ia telah dimakan oleh orang-orang di pedalaman sana. Yang lain saya masih ingat nama-nama mereka antaranya Waworuntu, Rompis, Wentuk, Dompas, Malewo, dan Yan Dengah.
         Tetapi Yan Dengah sempat lari ke Tiongkok dan kembali ke Indonesia sekitar tahun-tahun Proklamasi.
           So itu Yan Dengah ini tu salah satu dari pendiri Partai Komunis di Indonesia pada tahun 1920 di Semarang. So itu dorang-dorang itu, tu pemberontak tahun 1926 yang kita kenal dan dicatat dalam sejarah sebagai ’perintis-perintis kemerdekaan’“.
         „selamat Sore-selamat sore.........“ demikian tuan penulong menyalami mereka yang telah lebih dahulu berada ditempat itu. Bagaimana broer Koneng.....bae-bae jo?“ Tuan penulong yang mengenal baik om Koneng, langsung menegurnya sambil senyum-senyum. „Banyak cerita bagus rupanya broer Koneng........? Dari jalan kita so dapa dengar kasana“.
         „Ooooo......bagini tuan penulong, kitorang sedang berbincang-bincang bertukar pikiran tentang kalau umpamanya ada diantara kami ini yang akan terpilih sebentar, mereka haruslah tenaga-tenaga muda semua. Dan lebih dari itu, mereka harus banyak belajar menambah pengetahuan disegala bidang yang menyangkut hidup dan kehidupan manusia, dalam hubungan kita manusia dengan Firman Allah. Dan terutama sekali ia harus sadar dan mengerti betul, batas-batas haknya di ladang Tuhan itu, yang bahwa dia benar-benar hanya sebagai pengerja dan bukan pemilik atau penguasa kebun itu. Sebab maklumlah tuan penolong, ada juga si pengerja-pengerja di ladang Tuhan, yang suka bawa pulang ke rumah itu hasil-hasil dari kebun Tuhan itu. Saya kira tuan penulong, kewajiban kita sebagai pengerja diladang Tuhan itu, hanyalah mengolahnya, menabur benih, menyianginya, lalu menuainya dan membawanya ke lumbung Tuhan dan bukan dibawa ke rumah. Bagaimana tuan penulong? Kira-kira bagitu?
          „Ha....ha....ha.....ya, benar sekali itu broer Koneng.....ha....ha.....ha....., saya ini adalah juga salah satu dari para pengerja di ladang Tuhan itu, dan saya juga terus- menerus berusaha untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan saya. Dan memang menurut pendapat saya, yang paling sulit bagi manusia, yaitu bagaimana kita dapat memisahkan mana yang dunia punya dan mana yang Tuhan punya. Yang didalam Alkitab juga telah diterangkan dengan singkat saja, yaitu ’berikan pada kaisar apa yang kaisar punya, dan berikan pada Tuhan apa yang Tuhan punya’ dan untuk itu semua, baiklah kita saling mengingatkan terutama bagi kita-kita ini sebagai pelopor-pelopor dalam penyebaran Injil“.
          „Tapi maaf tuan penulong, saya ingin menambahkan sedikit, maksud saya, saya ingin mendapat penjelasan dari tuan penulong mengenai soal......tentang hak Kaisar dan Allah. Maksud saya apa yang harus kita berikan kepada pemerintah dan apa yang menjadi hak dari pemuka kita dalam bidang agama atau penyebaran injil. Sebab bukankah akan mulia sekali apabila kita sebagai rakyat dan anggota jemaat yang setia, benar-benar dapat memenuhi dengan baik apa yang dituntut oleh Injil itu. Begini tuan penulong. Jadi.......kita sebagai rakyat dan juga sebagai pengiring Tuhan Yesus, apakah kita tidak perlu membuat penilaian yang benar, apakah kepada kaisar atau pemerintah dan pengemuka agama yang bagaimana, kita harus menyerahkan apa yang wajib kita berikan itu. Kalu rupa tu pemerintah dan pengemuka agama yang bagaimana, kita harus menyerahkan apa yang wajib kita berikan itu. Kalu rupa tu pemerintah yang lalu-lalu dang tuan penulong? Tu pemerintah penjajah Belanda, kong tu lebe gila lagi tu Dai Nippon? Bagitu lei torang pemimpin-pemimpin jemaat yang rupa tu om Koneng pernah cirita, ada kata salah seorang pendeta, waktu baru abis perang deng Jepang orang curiga dia beking ilang tu doi untuk pembangunan Gereja.....“ demikian seorang pembicara memajukan pertanyaan pada tuan Penulong.
             „Maaf saudara-saudara.......; saya sungguh mengerti apa yang menjadi sebab atau pangkal dari keinginan oom Leber untuk memajukan pertanyaan ini. Sekali lagi saya katakan yang saya maklum tentang apa yang ditanyakan saudara. Tetapi begini saudara-saudara.......; karena sebagai mana telah saya katakan tadi, yang bahwasanya baiklah kita saling mengingatkan dan saling membangun penuh kesabaran, karena sesungguhnya hanya sebahagian kecil saja dari sekian banyak permasalahan di dalam dunia ini yang dapat kita tanggulangi, sedangkan yang sekian banyak lagi, termasuk soal pemerintah-pemerintah dalam dunia ini, demikian pengemuka-pengemuka agama yang kurang atau tidak melaksanakan tugas mereka dengan baik kita serahkan sajalah kepada Tuhan semuanya itu. Bukankah begitu saudara-saudara?“

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Giroth Wuntu] Tete Koneng Sebongkah Batu Gunung

Orang-orang tua memanggilnya ’Koneng‘ saja, sedangkan yang lebih muda menegurnya engan ’Oom‘ atau ‚Broer Koneng‘. Dan kami anak-anak biasa menyebutnya ‚Tete‘ atau ‚Opa Koneng‘ ataupun ‚Opo Koneng‘. Seorang tua yang berwibawa, cerdas, rendah hati dan dapat bergaul dengan siapapun saja. Meskipun ia telah berusia sekitar tujuh puluh tahunan, tetapi dengan perawakannya yang tinggi semampai, berotot, tidak gemuk tetapi bukan pula kerempeng, dengan gerak geriknya yang gagah, roman muka yang tampan, mata yang menyorot tajam, dilengkapi dengan kumis yang dipilin meruncing keatas, salah-salah ia dikira oleh orang-orang muda, sebagai bapak pendiunan  marsose  atau perwira KNIL bagian Komando, yang biasa disebut, pasukan Baret Merah pimpinan Westerling. Konon karena hari kelahiran Tete Koneng, bertepatan dengan ulang tahun Ratu Belanda Wilhelmina, maka ia lalu seakan-akan memperoleh hak untuk selain nama keluarga Tawaluyan dan nama kecil lainnya, dapat pula ditambahkan sebutan ‚Koneng‘, yan

"Pencagaralaman"

oleh Prof. Dr. Ir. Otto Soemarwoto Pencagaralaman adalah padanan nature conservation . Kata cagar alam telah lama digunakan dan telah menjadi baku. Cagar alam adalah sebidang lahan yang dijaga untuk melindungi fauna dan flora yang ada di dalamnya. Di dalam cagar alam tidak dibolehkan adanya segala jenis eksploitasi. Mencagar ( to conserve ) adalah pengawetan atau pelestarian. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 'cagar' berarti benda yang dipakai sebagai tanggungan pinjaman atau hutang. 'Mencagar' berarti memberikan barang sebagai tanggungan pinjaman. Apabila dihubungkan dengan arti cagar alam sesuai dengan konsep, bumi bukanlah milik kita , melainkan milik anak cucu kita . Kita hanyalah meminjamnya dari anak cucu kita dan harus mengembalikannya kepada mereka dalam keadaan yang baik. Bahkan harus lebih baik dari semula sebagai pembayaran bunganya. Cagar alam itu merupakan tanggungan atau pinjaman, bahwa kita akan mengembalikan pinjaman itu. Sejak manusia ada

Apa Itu Lorem Ipsum

Dalam industri percetakan, Lorem Ipsum dikenal sebagai suatu contoh teks tulisan atau dummy, yang menjelaskan tentang penataan huruf atau typesetting. Sejak tahun 1500-an, Lorem Ipsum sudah dijadikan standar contoh teks. Ini bermula ketika seorang tukang cetak mengambil sebuah kumpulan teks lalu mengacaknya menjadi sebuah buku contoh huruf. Buku contoh huruf itu mampu bertahan selama 5 abad, kemudian beralih tanpa perubahan ke penataan huruf elektronik dan mulai dipopulerkan tahun 1960. Ditandai dengan diluncurkannya lembaran-lembaran Letraset yang menggunakan kalimat-kalimat dari Lorem Ipsum. Selanjutnya, versi Lorem Ipsum digunakan oleh perangkat lunak Desktop Publishing seperti Aldus Pagemaker. Asal muasal Lorem Ipsum Lorem Ipsum mempunyai akar dari sebuah naskah sastra latin klasik era 45 SM dan bukanlah teks yang bisa diacak. Seorang Professor Bahasa Latin dari Hampden-Sidney College di Virginia yang bernama Richard McClintock melakukan penelitian untuk mencari makna salah sat