Tete Koneng adalah seorang pejuang teladan. Dan karena pada jamannya Tete Koneng, siapa saja yang berani menentang kekuasaan Belanda langsung dicap Komunis, maka wajarlah kalau orang tua yang galak ini, mendapat julukan „Koneng Merah“, atau Koneng Komunis. Malahan bagi yang kurang mengenalnya ia memang dikira bekas buangan Digul atau Tanah Merah. Padahal Tete Koneng bukanlah seorang komunis penganut paham Marxisme-Leninisme apalagi seorang atheis. Orang tua yang sudah berambut putih ini, hanyalah seorang Nasionalis sejati, yang mendambakan kemerdekaan, bebas dari penjajahan dan karenanya ia sangat mengagumi Bung Karno dan Bung Hatta.....katanya; „Mereka itulah pemimpin-pemimpin bangsa kita yang sejati. Karena selain mereka berotak tajam, dapat melihat jauh kedepan, mereka juga berani masuk bui, dan tidak gentar menghadapi peluru yang setiap saat dapat membunuh mereka. Rupa dorang itu wajar dibilang pemimpin....jago dorang. Orang-orang muda seharusnya rajin membaca buku-buku yang berisi ajaran-ajaran Bung Karno. Saya ada menyimpan surat-surat kaabr tua dari beberapa tahun yang lalu antaranya, Tjahaya Siang, Nationale Comentaren, Bintang Timur, Pertimbangan dan lain-lain yang berisi tulisan tentang Bung Karno, dan saya selalu mengajak pemuda-pemuda atau siapa saja supaya datang membacanya di rumah. Dan di rumah pun saya juga ada gambar-gambar dari jago-jago politik dan kemanusiaan di dunia ini seperti Soekarno, Gandhi, Lincoln dan lain-lain banyak lagi“. Demikian antara lain cuplikan-cuplikan dalam ucapannya apabila ia tengah membakar semangat anak-anak muda.
Beberapa surat kabar tua memang sering dibawa-bawa Tete Koneng jika diwaktu senggang dia berkesempatan berjalan-jalan atau mengunjungi warung atau tempat orang-orang yang sedang santai berkumpul-kumpul. Ataupun apabila ia diundang ke pesta hari jadi atau keramaian kampung. Dan dengan sendirinya Tete Koneng mulai mengarahkan obrolan yang tidak ada gunanya, ke pembicaraan tentang persoalan-persoalan yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Dengan bersemangat, seakan berpidato diatas mimbar, ia menjelaskan kepada siapa saja yang kurang mengerti uraiannya, tentang arti dari tulisan atau artikel yang mengandung ajakan dan dorongan untuk lebih-lebih menyadari tentang betapa indahnya negeri Indonesia ini dan betapa kayanya tanah air pusaka kita ini. Saudara harus tahu, khusus tentang Minahasa saja, apa pendapat seorang pujangga Belanda, yang menyesal sekali, karena buku itu sudah dirampok tentara Belanda Twapro waktu mereka menggeledah rumah saya. Dengarkan apa yang dikatakan oleh pujangga itu, „Sesungguhnya, Minahasa adalah salah satu dari tempat yang amat subur di bumi sebagai pemberian Tuhan. Saudara mengerti itu? Dan benarlah saudara-saudara kalau Indonesia ini disebut-sebut sebagai untaian permata Zamrud di Khatulistiwa. Betapa saja keuntungan Belanda selama ia menjajah Indonesia ini. Dan betapa akan lebih maju dan mulia tanah air kita ini apabila kita sendirilah yang mengatur dan membangunnya, bukankah begitu saudara.....?
„Benar sekali oom“, Demikian sambutan serentak dari beberapa orang pemuda.
„Makanya kita harus rajin membaca buku-buku, bertukar-tukar pikiran untuk menambah pengetahuan, terutama tentang tanah air dan bangsa kita Indonesia“.
„E, oom! Dulu oom pernah bacirita tentang pengakuan, ya katakanlah pujian seorang penulis bangsa Belanda juga tentang wanita Minahasa.....bagaimana itu oom? Ha....ha....ha....!!!“. Demikian seorang pemuda menyelahi.
„Kiapa.....? Tentang wanita....?
„Iyo, oom......“
„Ah, memang ngoni anak-anak muda, selalu suka bacirita soal perempuan“.
„Biasa kwa itu dia oom....“
„No, dengar bae-bae, Dia bilang tu tuang Graafland bilang, dia tulis pa dia pe buku yang katanya: „Demikian cantiknya wanita-wanita Minahasa dan karenanya mereka tidak perlu menepi, artinya dorang nyanda perlu ba sei, jika mereka berpapasan dengan wanita-wanita bangsa Eropa....so dengar itu?“
„Eh, ..hebat kote torang pe nona-nona“.
„So itu torang musti menghargai torang pe nona-nona. Jangan ngoni karena batamang kasana deng laki-laki, barangkali lapungu, papancuri atau bajingan dari mana, ngoni kase batunangan akang deng torang pe nona-nona........iyo to...? Dan saya anjurkan juga berulang-ulang apda saudara-saudara dan teman-teman yang lain supaya rajin membaca buku dan belajar juga politik“.
Om Koneng sangat menyesalkan orang-orang atau siapapun saja, terutama anak-anak muda yang tidak ada keinginan untuk belajar politik. Dikatakannya sudah sejak beberapa ratus tahun yang silam, dikala bendera merah putih masih terpendam didalam bumi, sudah ada orang-orang bangsa kita yang paham tentang politik dan berjuang melawan penjajah. Ini berarti opo-opo kita sudah ada pengertian dan kesadaran bahwa bangsa lain tidak berhak menjajah bangsa lain. Ingatlah kita tentang waranei-waranei, opo-opo kita dalam perang-perang yang berulang-ulang di Minawanua dan sekitarnya. Coba bayangkan semangat dan keberanian mereka.“ Demikian antara lain nasihat-nasihat Tete Koneng pada pemuda-pemuda menjelang dan sekitar Proklamasi 1945.
Dalam pergolakan 14 Februari 1946 di Sulawesi Utara, dimana kota Tondano banyak memberikan peranannya, Tete Koneng ikut pula bergiat memberikan petunjuk-petunjuk terutama dalam menggalang persatuan dan kekuatan, menyadarkan rakyat yang kurang atau tidak mengerti dan kebingungan menentukan sikap. Dijelaskan oleh Tete Koneng berulang-ulang bahwa akan salah kita, kalau kita memarahi apalagi memusuhi sebagian rakyat, yang tidak atau belum dapat ikut dalam usaha-usaha mempergencar perjuangan, karena kesanggupan dan kemampuan kita manusia tidaklah sama. Baik itu kemampuan otaknya untuk mengerti keadaan yang sedang terjadi, boleh jadi karena dia kurang berani atau memang manusia penakut, dan ada pula yang terhalang karena gangguan ekonomi, rumah tangga dan lain-lain. Semua ini harus dipikirkan dan dibawa dalam pertimbangan karena jika tidak demikian, artinya kita kurang bijaksana dan tidak dapat menggalang persatuan dan kekuatan. Yang penting kita harus dapat memisahkan siapa kawan, dan siapa yang menentang perjuangan. Artinya dia penentang kemerdekaan, dan sekaligus menelanjangi mereka, penghasut-penghasut dan kaki tangan Belanda yang suka menakut-nakuti, melemah-lemahkan semangat rakyat supaya tidak melawan penjajah.
Dalam situasi demikian, tentu saja Tete Koneng tidak habis-habisnya mengumpat-umpat, menyumpahi orang-orang yang meremehkan atau melecehkan saja segala yang merupakan usaha dan gerakan yang ingin mengakhiri kekuasaan penjajah. Dan terhadap segolongan orang-orang yang terang-terangan ingin mempertahankan kekuasaan Belanda itu, Tete Koneng telah mengambil garis yang tegas pula. Dimana dan kapanpun orang-orang ini ditantangnya untuk bertukar pikiran, berdebat secara terbuka, bahkan sampai mengarah-arah keperkelahian, dimana Tete Koneng yang sudah dalam usia senja itu, sedikitpun tidak menunjukkan rada gentar.
„Dalam usia-ku yang setua ini, saya ingin buktikan bahwa mereka yang hingga saat ini masih menjadi kaki tangan Belanda, apapun yang mereka inginkan, akan saya layani. Memanglah orang-orang ini hanya ujudnya saja yang manusia tetapi merekaa berprilaku tidak berbeda dengan binatang penjilat pantat penjajah. Sedari dahulu memang ada saja orang yang demikian. Kita ingat saja siapa itu Urbanus Mateus, Bekasi Pedro Ranty, Bastian Saway, Maondei dan lain-lainnya lagi yang menjadi mata-mata Belanda pada perang terakhir di Tondano ini. Mereka membantu Belanda dalam bentuk sebagai pesuruh, bahkan membantu juga dalam penyebaran penginjilan, tetapi sekaligus mereka juga menjadi mata-mata Belanda. Dan demikian pula dijaman Jepang. Ada saja manusia-manusia yang berbudi pekerti rendah, yang sepertinya belum mengenal peradaban, akrena banyak menyusahkan masyarakat. Mereka menawarkan diri untuk bekerja pada Jepang, menajdi mata-mata atau mite-mite, mencari-cari kesalahan orang. Yang tidak bersalah difitnah, hanya karena menginginkan sepotong dua potong sabun atau selembar kain belacu. Ada pula yang kesukaannya dan keahliannya yaitu masak ke kampung-kampung membodohi dan membohongi wanita-wanita untuk dijadikan wanita-wanita penghibur atau istri dari orang-orang Jepang saja, orang-orang sampah masyarakat ini, sudah merasa senang dan gembira. Yang penting mereka sudah menjadi sahabat tentara Jepang. Dan dalam segala kegiatan yang terkutuk ini, mereka tidak memperdulikan siapa saja yang akan menjadi korban, apakah dia temannya atau saudaranya sekalipun. Dan tidak sedikit juga saudara-saudara kita yang dihabisi nyawanya dengan samurainya Jepang karena ulah jahat mereka. Dan coba pula kita perhatikan sekarang, dalam gerakan-gerakan rakyat yang memperjuangkan kemerdekaan ini, tidak sedikit bekas kaki tangan Jepang ini, yang....ya, terimakasihlah kalau mereka benar-benar sudah sadar dan merobah perilaku mereka, lalu sungguh-sungguh ingin bahu-membahu dalam perjuangan sekarang, tetapi kalau itu hanya merupakan siasat untuk menutupi dosa-dosanya dahulu, atau boleh jadi juga karena takut, dikiranya nanti kalau Belanda dapat kembali lalu menghukum mereka, karena pernah bekerja sama dengan Jepang. Jadi kita juga harus berhati-hati terhadap orang-orang semacam ini.
Dalam suatu rapat perayaan peringatan hari Nasional dua tahun sesudah kemerdekaan, Tete Koneng hampir saja mengacau keramaian itu, gara-gara ia mengganggu seorang pejabat pemerintah setempat yang sedang berpidato. Konon agaknya Tete Koneng yang sedari permulaan pidato pejabat itu ia terus mengikutinya dengan teliti, telah dapat menangkap beberapa kelemahan dalam uraian-uraian itu. Sang pembicara rupanya hanya menguraikan atau lebih tepat dikatakan menceritakan saja sejarah perjuangan bangsa Indonesia, sambil membubuhinya dengan sanjungan-sanjungan yang ngawur menjemukan, dan tidak memberikan tekanan khusus pada jerih payah, penderitaan, dan pengorbanan para pejuang, tidak juga tentang pentingnya bagaimana melanjutkan perjuangan dalam mengisi kemerdekaan dan yang tersulit yaitu mempertahankan kemerdekaan itu sendiri.
„Ei......berenti......ngana!“
Tiba-tiba saja orang dikejutkan dengan teriakan Tete Koneng.
„Nyanda butul ngana.......! Para pejuang yang telah gugur untuk kemerdekaan tidak membutuhkan sanjungan-sanjungan dari siapapun, juga dari kamu sendiri....tidak......tidak......! Mereka tidak menuntut pujian atau apapun, sebab pujian dan sanjungan-sanjungan bisa munafik, atau berpura-pura saudara. Yang mereka harapkan, dengan sungguh-sungguh dari kita ini, yang sedang mengeyam hasil perjuangan mereka itu, ialah dengan sungguh-sungguh melanjutkan perjuangan dalam bentuk mengisi kemerdekaan.......sebagai darma-bakti kita yang tinggal ini, dan sebagai kelanjutan dari usaha jerih payah mereka. Karena bagi seorang pengkhianat, mudah saja ia menyembunyikan dan menutup-nutupi kepengkhianatannya dengan seonggok kembang-kembang yang mahal ke makam para pahlawan itu, karena kebetulan dia berkemampuan. Dia juga boleh saja menjadi yang paling rajin dan setia menghadiri hari-hari seperti ini atau hari-hari raya nasional lainnya, tetapi untuk apa? Bukankah selain menutupi dosa-dosanya yang sekalian juga menonjolkan diri untuk cari muka, bukan? Yang sekarang terkenal dengan „pahlawan-pahlawan kesiangan“. Dengan Tete Koneng memang jagoan pidato, pembakar semangat rakyat, sebagian pengunjung perayaan itu telah datang mengerumuninya dan menambah semangat dan emosi orang tua itu.
„Saudara-saudara!“ Demikian Tete Koneng melanjutkan, „Saya tahu kami rakyat kecil ini, yang sudah dengan sekuat kemampuan kami ikut dalam perjuangan, bukanlah lalu merasa sebagai orang-orang yang berjasa dan istimewa, bukan saudara-saudara. Tetapi yang kami tuntut dari mereka yang pernah tidak memperdulikan, yang mencemohkan dan malahan menentang perjuangan kemerdekaan itu, supaya merobah tingkah laku dan jangan munafik......lalu mari tunjukkan bukti kesadaran dan kesungguh-sungguhan kita dalam usaha mengisi kemerdekaan ini. Dan ini berarti kita meneruskan, melanjutkan segala sesuatu yang belum sempat dirampungkan oleh para ksatria, para pejuang, yang telah mendahului kita“.
Demikian Tete Koneng yang baru berhenti setelah ia ditenangkan oleh beberapa teman dekatnya, antaranya seorang pensiunan guru tua sepupunya, yang mengenal betul watak Tete Koneng.
„Tidak ada gunanya mendengarkan badut itu........Landverrader....!“ Demikian Tete Koneng menggerutu sambil berjalan meninggalkan kerumunan orang banyak itu.
Komentar