Langsung ke konten utama

[Giroth Wuntu] Tete Koneng di Rumah Duka

Pagi-pagi, baru sekitar pukul enam, Tete Koneng kelihatan sedang sibuk memberi makan ayam-ayam peliaraannya, ketika ia dikejutkan oleh suara isterinya.
`“E, Koneng....! Apa kamu tidak perlu bersiap-siap kerumah duka itu? Saya lihat sudah ada orang-orang yang menuju kesana“.
„Oh....?! dimana ada kedukaan.....? Siapa yang meninggal?
„Ee.....masak kamu tidak tahu Koneng? Apa kamu tidak mendengar tetengkoren tadi malam?“
„Oooh....barangkali karena saya sudah lelap tidur, maklumlah saya sudah sangat lelah pulang dari kebun. Pantas si Epus saya lihat pagi-pagi sekali dia sudah diserambi depan rumahnya dan duduk-duduk di kursi goyang....coba kamu lihat dia.....ha....ha....ha, tetapi siapa yang meninggal itu?!“
„Anaknya si Dina, yang kedua bungsu, saya dengar dari tetangga
„Oh....mungkin itu anak perempuan yang baru kelas dua itu, yang minggu lalu pernah disuruh ibunya kemari untuk menanyakan kalau kita menjual telur ayam, kau ingat bukan?!“
„Ya, benar anak itu yang meninggal. Tetapi mengapa kamu menyebut-nyebut si Epus itu, ada urusan apa kita dengan dia Koneng?“
„Kita memang tidak ada urusan dengan dia, tetapi kita perlu juga mengetahui atau mengenal siapa dia si Epus itu, karena kebetulan hari ini ada pula kedudukan di kampung kita“.
„Tetapi apa gunanya kita mencampuri urusan orang lain. Kalau tentang kedudukan itu, ya memang perlu kita perhatikan, tetapi bukan tentang siapa si Epus itu dan siapa-siapa lagi. Sedangkan urusan dalam rumah saja sudah memusingkan“.
Kita tidak akan atau mau mencampuri persoalan orang lain, tetapi perlu mengetahui saja...; tetapi kalau memang perlu sekali, ya, apa salahnya kalau terpaksa mencampurinya. Sebab memang kamu tidak mengetahui hubungan antara kedukaan itu dengan si Epus!
„Apa?!!....mau mencampuri urusan orang lain!?....jangan Koneng! Nanti jadi lei rupa tempo hari, urusan orang laeng ngana maso campur sampe amper jadi bakalae di kumpulan“.
„Oh, itu perkara penting. Itu soal tempo hari. Itu soal doi derma, kitorang baku salah di barekeng. Itu Yohan kira kita neanda ada catatan. Akhirnya dia malo sendiri. Coba kalu kita neanda maso campur, so „nar de maan“ tu spuluh ribu; harga satu rumah itu“.
„Iyo, maar itu so lalu. Skarang biar akang tu campur-campur urusan orang laeng, berenti. Lebebae lakas pigi karumah duka itu“.
Tante Nona rupanya pagi itu sedang bangkit lagi sifat pemarahnya. Sedangkan suaminya Tete Koneng yang memiliki sifat keras dan tidak senang mendengar ucapan-ucapan istrinya itu, timbul niat untuk yang kesekian kalinya ingin menggurui Tante Nona.
„E......Nona.....sudah salah lagi kau Nona. Dan kalau saja saya boleh berbicara sebagai seorang yang percaya pada Firman Tuhan, cara kau atau jalan pikiranmu yang mau menjauhkan keluarga kita sari masyarakat, adalah suatu dosa dihadapan Tuhan“.
„Apaaa...! saya sudah berdosa!?....karena saya tidak suka memikirkan soal orang lain....? soal si Epus itu?“
„Tentu, karena si Epus itu anggota masyarakat juga, bukan?“
„Lebih baik kamu cepat saja ke rumah duka itu. Kita tidak ada urusan dengan si Epus“.
„Nah, mengapa kamu suruh juga saya untuk cepat kerumah duka, kalau saya suka pergi.....kalau saya tidak suka, tidak apa. Dan nanti kalau kita mati torang bajalan sandiri kakubue. Bagaimana boleh bagitu?“
„Oh, itu soal lain, itu soal kedudukan“.
„Eh, Nona, kita harus mengerti dan menyadari betul-betul, yang bahwa kita ini, keluarga kita ini, hanyalah sebahagian kecil dari masyarakat dan juga sekaligus sebagai anggota dari masyarakat itu. Jadi segala sesuatu yang terjadi dimasyarakat, apapun yang menimpa orang-orang disekitar kita, adalah juga menyangkut keluarga kita, sebagai anggota masyarakat di kampung ini. Seperti yang terjadi hari ini, ada keluarga yang ditimpa kedukaan, maka kita pun harus memikirkannya. Pokoknya apa saja yang dihadapi masyarakat, kesukaran atau kesenangan. Kalau masyarakat aman tentram keluarga kita juga tentu aman tentram. Kalau orang-orang disekitar kita rukun dan damai, pasti kitapun merasakannya. Tetapi sebaliknya apa bila masyarakat tidak ada kerukunan, kacau balau penuh pertentangan dan huru-hara penuh kemunafikan, pasti kita juga gelisah terbawa-bawa. Ya......Nona, kecuali kalau kita bertempat tinggal didalam gua atau ditengah hutan sana“.
„Yaaa......saya juga mengerti itu Koneng, tetapi yang beking pusing pa ta pe kapala, kiapa kwa pagi-pagi ada bicara tu kedudukan, kitorang pi ta campur deng tu Epus itu.....? tu manusia ta pe paling binci......Ooooh, ngana nentau butul sapa tu pai tua itu? Orang jaha dia. Ngana bulung tahu baru-baru ini tu Rewung, Dolop pe Mama, orang pe paling susah di kampung ini, dapa pangge pa kuntua, dari tu si Epus da klak, yang tante Rewung bulung bayar lunar tu dia pe utang pa dia“.
„Oooo ha, ha, ha......bagitu dang.....jadi karena itu kamu tidak senang padanya? Dan kamu tahu kira-kira berapa banyak utang si Rewung itu? Dan digunakan untuk apa uang itu.....pasti kamu tidak tahu....!?“
„Memang saya belum tahu. Yang saya tahu bahwa si Rewung telah meminjam uang itu sejak dua tahun yang lalu“.
„Makanya dengar dahulu, uang itu berjumlah dua rupiah tujuh puluh sen. Memang cukup banyak juga. Dan saya kira si Rewung tidak mampu lagi membayarnya. Apalagi dia sekarang sudah sakit-sakitan. Dia tidak dapat lagi menjadi buruh di kebun orang, seperti menanam padi, menyiang atau lain-lain pekerjaan yang dapat menghasilkan uang. Sedang si Dolop anaknya yang satu-satunya itu, sejak kecil sudah sakit-sakitan. Yaa.....kasihan si Rewung, dia teman sekolah saya dulu....eh.....Nona, Kamu tahu digunakan untuk apa uang itu? Uang itu telah digunakan untuk biaya pengobatan sampai penguburan suaminya dulu. Rupanya penyakit suaminya tidak dapat disembuhkan lagi.“
„Oh, iya, saya ingat, benar uang itu digunakan waktu itu. Memang jahat benar si Epus itu“.
„Makanya saya ingin menceritakan atau menjelaskan kepadamu tentang kelakuan si Epus itu. Dan kalau tadi saya bicara tentang dia si Epus, yang masih pagi-pagi benar dia sudah duduk di kursi goyang di serambi depan rumahnya, itu ada hubungan dengan kedukaan itu. Tetapi kan kau yang belum mengerti arah pembicaraanku, langsung marah dan mengacau pembicaraanku. Coba kamu perhatikan dia duduk diserambi depan itu, karena dia tahu yang akan ada orang atau salah satu dari anggota keluarga yang ditimpah kedukaan itu, yang akan datang lagi padanya, untuk meminjam uang dan dia sekarang sedang bersiap-siap menunggunya.....mungkin si Dina sendiri yang akan datang. Hanya beberapa orang saja di kampung kita ini, yang tidak pernah datang padanya untuk meminta pertolongan meminjam uang, tetapi tentu saja dengan mempertaruhkan barang apa saja. Dan kalau kita mempunyai sesuatu barang untuk dijadikan petaruh atau jaminan, maka harus pandai-pandailah mengambil hatinya, memelas dan beribah-ibah. Apakah uang yang dibutuhkan mereka itu untuk membayar angsuran dana sosial kampung atau bayar arisan, lebih-lebih kalau keperluan seperti yang dibutuhkan si Dina yang kedukaan itu. Karena maklumlah untuk persiapan pemakaman, peti jenasah terutama harus dipersiapkan secepatnya.“
„Nah,.....lihat.....kau lihat? Siapa yang sedang memasuki halaman si Epus.....lihat? itu si Liwun saudaranya si Dina, bukan?“
Karena agaknya sudah agak terlambat, Tete Koneng bergegas menuju ke rumah duka. Disana telah banyak yang hadir. Dan sudah lumrah kalau disetiap kehadiran orang tua ini, dimana saja ada orang-orang berkumpul, pasti ada pula pengaruh khusus. Dari kejauhan nampak Tete Koneng bersama dua tiga temannya berjalan mendatangi.
„Entah apa pula yang akan dikatakan Tete Koneng sebentar, karena tuan penulong belum ada“, demikian suara beberapa orang. Sudah pasti ia akan marah-marah lagi, atau paling kurang ia akan menggerutu, karena sekarang sudah jam setengah satu, padahal rencana pemakaman sudah ditentukan sam setengah tiga“.
„Selamat siang-selamat siang. Bagaimana tuan penulong tentu belum ada pula ya....? bukan main......dari dulu selama dia bertugas di paroki kita, dia hampir selalu begitu. Ini tentu karena dia terbiasa di kota. Dia tidak tahu, yang keadaan masyarakat di kampung, berbeda dengan di kota. Bagi kita disini tidak ada sejam pun yang dibiarkan berlalu atau tidak dimanfaatkan untuk melakukan sesuatu usaha. Bahkan lima atau sepuluh menit pun sangat berarti pada saat-saat tertentu. Ada yang harus pergi ke kebun mengusir burung, menyadap saguer, mengambil kayu akar atau pergi menengok binatang piaraan dan lain-lain kesibukan di rumah. „Demikian Tete Koneng yang baru saja tiba mengomel.
„Tidak apalah om Koneng, kita tunggu saja sebentar, masih ada waktu satu menit barangkali. Mari kita ngobrol-ngobrol sedikit. Kamu beberapa orang inii, sudah lama tidak bertemu dengan om Koneng dan ngobrol-ngobrol. Maklumlah kami bukan penduduk kampung ini.
„Ooo....dari kampung mana, saudara-saudara?“
„Dari Touliang Oki om“
„Oo, Jadi kitorang babacirita dulu sadiki dang.....boleh juga, asal kita jangan ribut. Sebab kalau ditanah lapang kong beribut rupa tempo hari, waktu perayaan itu, tidak apa-apa. Tetapi kalau di rumah yang sedang kedukaan begini, lalu kita membuat keributan, bicara keras-keras umpamanya, itu artinya kita tidak tahu kesopanan, tidak tahu pergaulan bukan?“
„Betul itu oom Koneng“, seorang anak muda yang dahulu juga pernah mengajak Tete Koneng bertukar pikiran mengenai perbedaan agama dan Firman Tuhan, telah mulai pula membuat gara-gara.
„Begini om, teman-teman saya ini.....“ sambil menoleh ke kiri dan ke kanan,“mengatakan bahwa anak yang sudah meninggal ini, bukanlah meninggal karena sesuatu penyakit biasa seperti Malaria, Disentri atau Influenza yang dapat saja diobati oleh dokter, karena beberapa jenis obat dokter sudah pernah digunakan namun tidak juga berhasil. Itulah sebabnya banyak orang di kampung ini berpendapat bahwa mungkin sekali anak itu meninggal disebabkan rohnya ditangkap jin atau setan yang menjadi penunggu di pohon besar di belakang sekolah sana....bagaimana itu om Koneng? .....kira-kira.
„Haaa....mungkin ditangkap jin penunggu? Mengapa tidak dikatakan pasti hanya mungkin dan sekalian menggambarkan bentuk rupa jin itu.“
„Ya, saya kira begitu, oom. Tetapi tentang jin itu, ya, siapakah yang dapat melihat bentuk jin atau penunggu, apalagi menyaksikan dengan mata kepala sendiri pula, si Jin atau barangkali pontianak, atau sebangsa mereka menangkap roh anak itu, tentu saja tidak ada. Sebab memang tidak dapat dilihat, tetapi, penyakit anak itu tidak dapat disembuhkan dengan obat-obat dokter.
Nah tentulah hanya dukun yang tahu menahu tentang dunia roh-roh jahat dan setanlah, yang dapat menyembuhkan penyakit anak itu. Dan memang saya dengar mereka juga sudah pernah memanggil beberapa dukun berganti-ganti, tetapi hanya dukun-dukun di kampung ini saja. Mereka sudah pernah merencanakan juga untuk memanggil tonaas dari negeri Belang seorang dukun kenamaan, tetapi mereka tidak ada biaya.“
„O, jadi obat dokter sudah dicoba, dukun juga sudah pernah, kecuali mungkin Tonaas dari Belang bukan?“ demikian Tete Koneng menyelai. „Dan saya dengan jemaat di kampung ini, sudah pernah beberapa kali mengunjungi dan mendoakan kesembuhan anak itu tetapi sia-sia saja“. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Giroth Wuntu] Tete Koneng Sebongkah Batu Gunung

Orang-orang tua memanggilnya ’Koneng‘ saja, sedangkan yang lebih muda menegurnya engan ’Oom‘ atau ‚Broer Koneng‘. Dan kami anak-anak biasa menyebutnya ‚Tete‘ atau ‚Opa Koneng‘ ataupun ‚Opo Koneng‘. Seorang tua yang berwibawa, cerdas, rendah hati dan dapat bergaul dengan siapapun saja. Meskipun ia telah berusia sekitar tujuh puluh tahunan, tetapi dengan perawakannya yang tinggi semampai, berotot, tidak gemuk tetapi bukan pula kerempeng, dengan gerak geriknya yang gagah, roman muka yang tampan, mata yang menyorot tajam, dilengkapi dengan kumis yang dipilin meruncing keatas, salah-salah ia dikira oleh orang-orang muda, sebagai bapak pendiunan  marsose  atau perwira KNIL bagian Komando, yang biasa disebut, pasukan Baret Merah pimpinan Westerling. Konon karena hari kelahiran Tete Koneng, bertepatan dengan ulang tahun Ratu Belanda Wilhelmina, maka ia lalu seakan-akan memperoleh hak untuk selain nama keluarga Tawaluyan dan nama kecil lainnya, dapat pula ditambahkan sebutan ‚Koneng‘, yan

"Pencagaralaman"

oleh Prof. Dr. Ir. Otto Soemarwoto Pencagaralaman adalah padanan nature conservation . Kata cagar alam telah lama digunakan dan telah menjadi baku. Cagar alam adalah sebidang lahan yang dijaga untuk melindungi fauna dan flora yang ada di dalamnya. Di dalam cagar alam tidak dibolehkan adanya segala jenis eksploitasi. Mencagar ( to conserve ) adalah pengawetan atau pelestarian. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 'cagar' berarti benda yang dipakai sebagai tanggungan pinjaman atau hutang. 'Mencagar' berarti memberikan barang sebagai tanggungan pinjaman. Apabila dihubungkan dengan arti cagar alam sesuai dengan konsep, bumi bukanlah milik kita , melainkan milik anak cucu kita . Kita hanyalah meminjamnya dari anak cucu kita dan harus mengembalikannya kepada mereka dalam keadaan yang baik. Bahkan harus lebih baik dari semula sebagai pembayaran bunganya. Cagar alam itu merupakan tanggungan atau pinjaman, bahwa kita akan mengembalikan pinjaman itu. Sejak manusia ada

Apa Itu Lorem Ipsum

Dalam industri percetakan, Lorem Ipsum dikenal sebagai suatu contoh teks tulisan atau dummy, yang menjelaskan tentang penataan huruf atau typesetting. Sejak tahun 1500-an, Lorem Ipsum sudah dijadikan standar contoh teks. Ini bermula ketika seorang tukang cetak mengambil sebuah kumpulan teks lalu mengacaknya menjadi sebuah buku contoh huruf. Buku contoh huruf itu mampu bertahan selama 5 abad, kemudian beralih tanpa perubahan ke penataan huruf elektronik dan mulai dipopulerkan tahun 1960. Ditandai dengan diluncurkannya lembaran-lembaran Letraset yang menggunakan kalimat-kalimat dari Lorem Ipsum. Selanjutnya, versi Lorem Ipsum digunakan oleh perangkat lunak Desktop Publishing seperti Aldus Pagemaker. Asal muasal Lorem Ipsum Lorem Ipsum mempunyai akar dari sebuah naskah sastra latin klasik era 45 SM dan bukanlah teks yang bisa diacak. Seorang Professor Bahasa Latin dari Hampden-Sidney College di Virginia yang bernama Richard McClintock melakukan penelitian untuk mencari makna salah sat